Sabtu, 02 Mei 2009

Horor Komedi

Kakak sendiri dikira hantu
Oleh: croezr83
Kisah ini terjadi sekitar tahun 1995. Awal ceritanya aku dan kakak perempuanku tiap malam biasanya nonton TV di tetangga. Maklum, waktu itu kami tergolong keluarga yang belum mampu membeli barang-barang tersier seperti televisi. TV milik tetangga saya itu juga tergolong baru, dan saya masih ingat saat itu channel yang bisa ditangkap masih sedikit. Indosiar saja saat itu belum ada. Baru beberapa bulan kemudian secara tidak sengaja tetangga saya tersebut ‘menemukan’ channel baru yang sebelumnya tidak dia kenal. Setiap malam rumah tetangga saya tersebut penuh sesak dengan tetangga kiri kanan yang sama-sama ingin sekedar menikmati tontonan gratis nuansa bioskop. Tak apalah sekalipun layar TV hitam putih namun sudah cukup menghibur kami yang awam akan dunia hiburan.
Kebetulan letaknya tidak jauh karena tetangga depan rumah. Jarak pintu rumah kami dengan pintu rumah tetangga tersebut kira-kira 20 meter, tapi bagi saya waktu itu yang masih berumur sebelas tahun, untuk sampai ketujuan memerlukan perjuangan melawan rasa takut dengan gelap. Memang desa tempat saya tinggal saat itu belum ada listrik karena belum ada program listrikisasi. Setiap malam selalu gelap bila rembulan tidak tampak. Bertambah seram karena jarak antar rumah di lingkungan saya rata-rata berjauhan. Hanya rasa penasaranlah yang terus mendorongku bisa melawan rasa takut tersebut. Kuakui bahwa saat itu saya terbius oleh kepiawaian sang sutradara meramu sedemikian rupa alur cerita sinetron yang jadi tontonan favorit kami waktu itu.
Malam itu aku dan kakak perempuanku seperti biasa tidak mau ketinggalan melihat acara favorit yang selalu kami tunggu-tunggu. Kakakku memakai baju yang menurut saya tidak pantas ia kenakan. Ya mungkin waktu itu dia belum tahu dan belum merasa malu sehinnga cuek saja dengan apa yang dia lakukan. Dia memakai baju ‘you can see’ warna hitam karya sang Ibu. Tidak hanya kakakku saja, jumlah perbendaharaan pakaian yang kumiliki juga lebih didominasi karya Ibu. Terkadang ada juga orang lain yang menyuruh Ibuku untuk menjahitkan kain mereka. Memang menjahit adalah salah satu kehobian Ibuku. Saya pikir Ibuku memang kreatif. Mungkin dia berpikir kalau bisa buat sendiri mengapa harus beli yang sudah jadi dan mahal? Toh anak-anak juga tidak pada protes. Menurut saya karya Ibuku masih dibawah standar, jahitannya kurang rapi dengan model yang ribet. Kadang aku mengeluh, membandingkan-bandingkan bajuku dengan baju teman-teman kecilku. Tapi saat itu aku enjoy-enjoy aja, karena aku piker itu merupakan ungkapan kasih sayang sang Ibu terhadap anak. Dia ingin agar anak-anaknya memakai pakaian hasil ketrampilan tangannya sendiri. Ketrampilan beliau didapat secara otodidak. Mesin jahit merek standar model kuno menjadi salah satu barang kesayangannya. Sempat rumah kami kemasukan maling dan menggondol mesin jahit tersebut beserta sepeda BMX using kesayanganku dan jam dinding yang lumayan berharga waktu itu. Tapi untungnya sepeda ‘jengki’ yang baru beberapa hari dibeli diletakkan diruangan dalam dan disamping tempat tidur. Sehingga tidak ikut dicuri maling. Kasihan melihat Ibu yang tidak bisa lagi menjahit, tidak lama kemudian ayah berusaha mencarikan penganti mesin jahit yang hilang. Akhirnya didapatlah dari seorang punggowo kampong dengan merek yang sama tapi kualitas lebih rendah dari sebelumnya. Tidak masalah yang penting bisa menjahit lagi. Sampai sekarang mesin jahit itu masih ada dan masih bisa digunakan. Zaman semakin berkembang, Ibuku tidak lagi seperti dulu yang biasa menerima orderan dari orang lain untuk menjahitkan bajunya. Kadang saya merasa kasihan juga dengan Ibuku, bakat yang dia suka ternyata tidak sebanding dengan karya yang dihasilkan. Tapi Alhamdulillah, Ibuku punya kesibukan lain yang mendatangkan rejeki sedikit demi sedikit sehingga bisa membantu ayah memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga kami. Ibuku memberanikan diri untuk berjualan kebutuhan rumah tangga atau warung kelontongan disaat orang-orang pada takut melakukannya karena khawatir tidak laku. Awalnya menyediakan barang dagangan dengan jumlah terbatas dan Alhamdulillah sampai sekarang masih tetap eksis dan bertambah banyak jumlah dagangannya. Saya salut dengan kerja keras Ibu dan tampaknya ini diwariskan pada kakak perempuanku. Mungkin karena pengalaman itulah sampai sekarang saya masih PD untuk tampil apa adanya dan sederhana saja.

Acara TV yang kami tunggu-tunggu adalah sinetron bersambung ‘tersanjung’ yang ditayangkan seminggu sekali oleh channel indosiar. Sinetron terlama yang pernah kami saksikan, sehingga layak direkomendasikan untuk mendapat penghargaan rekor MURI untuk kategori sinetron terlama. Hubunganku dengan ‘tersanjung’ putus semenjak aku berangkat mencari ilmu di kota pelajar. Tapi sebelumnya aku juga sudah merasa bosan dan jarang menontonnya lagi karena jalan ceritanya yang semakin lama tidak menarik dan berputar-putar. Akhir kisahnya juga aku tidak tahu. Setelah acara sinetron selesai, seluruh penonton bubar kembali ke rumah masing-masing. Termasuk kami yang sudah sekitar 2 jam asyik memelototi layar kaca. Dengan mata mengantuk dan kondisi tubuh setengah lunglai kami beranjak dari tempat duduk lebih awal dari penonton yang lain. Kami mulai melangkahkan kaki keluar dari pintu tetangga tersebut. Suasana malam sangat gelap sehingga kami harus berhati-hati supaya tidak menabrak pagar halaman rumah kami. Dibelakang kakakku aku merasa takut dan terus mengikuti langkahnya tanpa sepatah katapun terucap. Kami sama-sama diam membisu dengan angan masing-masing. Suasana yang mencekam mendorongku memikirkan hal-hal yang menyeramkan. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku sahabat kakakku yang belum lama meninggal dunia karena penyakit kuning. Dia adalah teman akrab kakakku. Biasanya kemana-mana mereka selalu bersama. Berangkat sekolah, ke pasar, nonton hiburan, atau kemana saja mereka suka. Dia juga sangat akrab denganku karena rumahnya tidak terlalu jauh sehingga kapanpun kami mau kami selalu main ke rumahnya. Dia meninggal karena penyakit yang sudah lama dideritanya. Atas kehendak Allah akhirnya mereka dipisahkan dengan takdir kematian. Namanya saja anak kecil, setelah wafatnya teman perempuan kakakku itu. Sampai beberapa hari aku tidak bisa tidur nyenyak, masih terbayang-bayang wajah teman kakakku itu. bukan saat itu saja, setiap kali ada orang meninggal dunia esok harinya pasti banyak anak kecil bahkan terkadang orang dewasa menceritakan kondisi tidur mereka tadi malam yang tidak nyenyak. Lebih-lebih kalau orang yang meninggal tersebut mati dalam keadaan tidak wajar seperti gantung diri atau minum racun serangga. Otak saya masih terbelenggu pikiran bahwa orang yang meninggal dunia itu bisa menghantui manusia yang masih hidup. Padahal kan ini tidak benar dan keliru besar. Orang yang sudah mati tentu tidak mungkin bisa mengganggu manusia yang masih hidup. Tapi begitulah keyakinan sebagian masyarakat disekitar kami yang mungkin masih eksis sampai saat ini.
Perasaan takut ini harus kuakui memang sifat negative yang sampai detik ini sulit kuabaikan. Sewaktu-waktu perasaan tersebut bisa muncul kembali dan merajai isi kepalaku. Biasanya sifat ini muncul ketika aku berada dalam situasi yang hening dalam gelapnya malam. Seakan aku sebagai partner yang sudah menerima ajakan dari team acara ‘dunia lain’ yang sekarang sudah tidak lagi tayang karena mendapat protes keras dari umat Islam. Dan aku menyerah sebagai peserta yang gagal. Aku pikir perasaan takut seperti ini wajar-wajar saja menimpa manusia. Karena Allah membekali manusia dengan perasaan ini sejak lahir. Lagipula tidak selamanya aku diliputi rasa ketakutan. Terkadang saya juga dengan tegar dan tanpa rasa takut berani di situasi yang mencekam. Saya pikir munculnya rasa ketakutan tersebut tidak terlepas dari pengalaman waktu kecilku dimana saya terbiasa menonton film horor. Dan perasaan ini muncul manakala mendapat rangsangan dari luar. Hampir samalah dengan perasaan paranoid.
Saya melihat kakakku dari belakang seperti bayangan hitam yang bergerak-gerak. Rambutnya yang panjang terurai bebas kebelakang. Dalam pikiran saya waktu itu kakakku mirip seperti mak lampir dalam film misteri gunung merapi. Sesampainya di depan pintu rumah kakakku mulai memanggil-manggil Ibu di dalam rumah.
“Mak, mamak tolong bukakan pintunya…”. Panggil kakakku memecah keheningan malam. Kami biasa memanggil Ibu dengan panggilan khas,’mamak’. Kata mamak berasal dari bahasa jawa ngapak yang berarti Ibu. Kami sudah sangat familiar dengan panggilan tersebut.
“Iya..iya sebentar.” Suara sahutan dari dalam rumah. Kami menunggu di luar dengan perasaan takut. Kulihat kakakku mengintip lewat celah-celah pintu ke dalam rumah mungkin tidak sabar dengan sambutan yang lamban atau ingin memastikan apakah sudah ada orang yang hendak membukakan pintu. Beberapa saat kemudian,terdengar suara kaki melangkah semakin mendekat dari dalam rumah pertanda sudah ada orang yang siap membukakan pintu untuk kami. Kakakku mengulangi permintaannya “Mak..tolong bukakan pintu segera..”.
Dari dalam rumah terdengar sahutan yang bagiku saat itu terasa aneh. “Hah..mamak?”saya pikir orang yang mendekat ke pintu adalah Ibu saya tapi mengapa dia malah keheranan dan balik bertanya seperti itu. Lalu saya tersentak seperti baru tersadar dari lamunan. Bukankah suara dari dalam tersebut suara kakak perempuanku? Lalu siapa yang sedang bersamaku diluar? Otak saya berusaha mengolah klish yang baru saja terjadi dan makin membuatku penasaran. Karena rasa takut yang sangat dominan waktu itu, akhirnya saya gagal memproses data-data yang masuk ke dalam otakku sehingga muncul kesimpulan yang salah. Saat itulah saya berpikir bahwa orang yang berdiri didepanku dan saat kulihat dia tetap merunduk karena berusaha mengintip ke dalam rumah adalah benar-benar bukan kakak perempuanku. Seperti ada dorongan kuat dari luar diriku yang mempengaruhi jalan pikiranku mungkin semacam syaitan atau jin jahat yang sengaja menakut-nakutiku. Terlintaslah dalam pikiranku wajah teman kakakku yang sudah meninggal. Dan dorongan dari luar tersebut seakan memaksaku untuk meyakini bahwa orang yang sedang bersamaku itu adalah hantu teman kakakku yang sudah meninggal. Kejadiannya begitu cepat. Saat aku melihat kearah orang yang sedang merunduk tersebut untuk memastikan siapakah dia sebenarnya, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya sehingga rambutnya yang terurai tampak tidak beraturan menambah seramnya suasana malam itu. Sejurus kemudian dia sudah berdiri tepat dihadapanku. Dalam hitungan detik jiwaku sudah tidak mampu untuk kukendalikan. Seakan-akan akal sehatku tidak sanggup mengontrol jasadku. Tubuhku menjadi sangat ringan bahkan saya tidak merasakan adanya kaki, tangan, dan anggota tubuhku yang lain karena fantasi yang dibuat otakku terhadap anggota badanku sejenak menghilang.
Tanpa komando aku langsung mengambil langkah seribu berusaha menghindar dari hantu hasil pikiranku. Tubuhku melayang hebat seperti sedang terbang. Terpaan angin ditelingaku terdengar seperti desauan makhluk halus. Tapi aku tidak perduli aku terus berlari sekuat tenaga. Jarak 20 meter kutempuh tidak lebih dari 5 detik. Mungkin sekali itu saja aku melakukan gerak kinetik tercepat yang pernah aku lakukan dalam hidupku. Saat puncak kepanikan yang luar biasa itulah, aku teringat akan nasehat seorang teman yang entah benar atau tidak. Jika kamu melihat hantu atau syaitan maka yang harus kamu lakukan supaya hantu tersebut tidak mengganggumu adalah kamu melafalkan lafad takbir sebanyak tiga kali. Spontan aku mengucapkan kalimat takbir lebih dari tiga kali. Karena saya pikir mengapa harus dibatasi tiga kali saja. Kalo banyakkan hantunya lebih takut. Aku mengucapkan kalimat takbir tersebut dengan suara sangat keras hingga tetangga yang jauh pun bisa mendengarnya.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” teriakku berkali-kali membahana memecah kesunyian malam. Suara tersebut sangat jelas terdengar mungkin sampai radius 400 meter didukung suasana kampung yang sunyi senyap. Saat aku masuk kembali ke dalam rumah tetanggaku, kulihat sudah ada beberapa orang keluar hendak pulang ke rumah masing-masing. Mereka tersentak keheranan sambil bertanya ada apa gerangan dengan diri saya. Setelah aku masuk ke rumah tetanggaku aku masih diliputi rasa cemas dan takut sehingga tidak satupun pertanyaan mereka yang aku jawab. Begitu juga dengan kakakku dia merasa heran dengan tingkahlakuku. Dia berpikir bahwa aku barusan telah melihat hantu sehingga dia pun ikut berlari mengikuti langkahku. Aku menjadi semakin ketakutan karena dia malah mengikutiku sampai ke dalam rumah tetangga. Dia tidak sadar kalau sebenarnya yang saya takuti adalah dia. Aku masih belum percaya kalau dia adalah kakakku, namun dia terus berusaha meyakinkanku. “Ada apa dik, ini aku kakakmu yang tadi berangkat bareng denganmu?”. Aku berlindung dibelakang pemilik rumah, berusaha menghindar dari kakakku. Sehingga kami semacam sedang bermain kucing-kucingan. Setelah beberapa saat pemilik rumah dan orang-orang yang masih ada disitu berusaha meyakinkanku bahwa yang saya takuti adalah memang kakakku, berangsur aku mulai tidak takut dengan hantu hasil pikiranku. Karena saya juga berpikir kalau memang dia hantu beneran tentu dia sudah tidak ada di depanku dan tidak mau bercakap-cakap dengan manusia.
Saat kecil aku memang banyak berpikir negative terutama dengan dunia syaitan. Biasanya pikiran-pikiran seperti itu aku dapatkan setelah mendengarkan cerita horor dari teman atau cerita-cerita misteri dalam film layar tancap maupun sandiwara radio. Jikalau saya berjalan dengan seseorang di malam hari (sekalipun dia saudaraku sendiri) muncul perasaan kalau-kalau dia bukan manusia. Pikiran ini aku dapatkan juga dari hasil obrolan dengan salah seorang temanku. Dia bercerita tetang adanya kelongwewe. Dia bilang kalau hantu ini bisa menyerupai seseorang dalam wujud aslinya lalu menemui anak kecil pada malam hari untuk diajak ngobrol, jalan-jalan, atau hanya sekedar ketemu kemudian anak kecil itu masuk ke dunia syaitan jadi-jadian tersebut. Lalu dia diajak makan dan menginap di rumah hantu tersebut. Kalau selamat anak kecil itu bias kembali. Tapi kalau tidak maka dia akan dijadikan tumbal.
Aku tidak tahu apa yang diceritakan mereka sebenarnya. Tapi namanya anak kecil, pengalaman-pengalaman tersebut membentuk cetak biru dalam alam pikiranku dan sampai belasan tahun aku belum bisa mendeletnya. Kuatnya citra tersebut bisa jadi dikarenakan kurangnya kontrol orangtua. Sehingga tidak ada yang menjelaskan bahwa semua kejadian yang pernah saya lihat dan saya dengar mengenai hal-hal yang menyeramkan hanyalah rekayasa kamera dan bualan orang semata. Kondisi ini diperparah dengan obrolan selepas nonton yang biasa didengungkan oleh orang-orang dewasa yang malah menambah ketakutan anak kecil. Tapi begitulah duniaku waktu kecil dikelilingi dengan kisah misteri. Tidak adanya cerita penyeimbang membuat hormon yang menciptakan rasa takut lebih dominan berkembang di dalam otakku. Puncaknya adalah peristiwa malam naas itu yang bagiku menjadi pengalaman unik.
Dengan perasaan malu dan masih sedikit shok akhirnya aku pulang dengan kakakku dan diantar oleh pemilik rumah. Dari kejauhan tampak seseorang sudah menunggu dan menyambut kami dengan pertanyaan-pertanyaan penuh rasa heran. Setelah agak dekat baru aku tahu kalau orang tersebut adalah kakak laki-laki kami yang ternyata malam itu baru pulang dari kost. Saya mempunyai empat saudara; dua kakak dan dua adik. Kakak pertama seorang laki-laki yang saat itu sedang kuliah di IAIN Raden Fatah Palembang, kakak kedua perempuan kelas 2 SMP, yang ketiga masih balita sekitar berumur 3 tahun, dan yang satunya lagi saat peristiwa itu terjadi dia belum lahir. Kakak pertamaku tergolong sangat berani. Sering kalau dia baru pulang dari kost berjalan sendiri malam hari menempuh jarak kurang lebih 2 kilometer dari jalan raya lintas timur. Padahal harus melewati daerah yang tidak berpenghuni dan sepi. Maklum saat itu kendaraan masih sulit. Belum ada tukang ojek yang mangkal. Jalan raya pun masih jelek, belum diaspal. Malam itu dia pulang ketika kami sedang menonton TV sehingga kami tidak tahu kedatangannya. Sebenarnya suara kakak laki-lakiku ini tidak begitu mirip dengan suara kakak perempuanku. Mungkin karena waktu itu aku dalam kondisi mengantuk dan takut sehingga otakku salah mengenali informasi suara yang masuk ke dalam gendang telingaku. the end